Rabu, 27 Juni 2012

Senjata Khas Suku Aboringin dari Bayuwangi

Berhati-hatilah bila Anda membeli bumerang, senjata khas Suku Aboringin di Australia. Kalau tidak, bersiaplah untuk kecewa. Bisa jadi yang Anda beli adalah bumerang made in Bayuwangi. Sebab, senjata itu kini diproduksi ramai-ramai di Bayuwangi, serta beberapa daerah lain di pulau Jawa.
Bukan hanya bumerang, orang "osing" juga membuat lido-lido, jimbe, dan rain stick (alat musik khas Aborigin) . Itu semua bukan sekadar asesoris atau cindera mata, tapi juga bisa dipakai sesuai fungsinya. Boomerang buatan Banyuwangi bisa dilempar sebagai senjata. Lido-lido, jimbe, dan rain stick bisa mengeluarkan nada-nada yang cukup merdu bila dibunyikan.
Boomerang yang bisa dilempar berujung agak pipih, namun bentuknya persis: permukaan bagian atas diberi lukisan khas Suku Aborigin dari cat tembok, lalu dipernis. Ukurannya tiga macam, yakni 36 cm, 40 cm, dan 50 cm.
Bahan baku bumerang, lido-lido, dan jimbe dari kayu mahoni, jati, sonokeling, dan nangka, sedangkan bahan untuk membuat rain stick, adalah bambu. Masing-masing jenis itu dilukis dengan cat tembok, lalu dipernis.
"Lukisannya ya lukisan khas Suku Aborigin. Jadi sangat mirip. Sulit membedakan mana barang buatan Indonesia dan buatan Suku Aborigin," kata Dodik Hidayat, 45 tahun, perajin barang-barang seberang itu.
Adalah Dodik pula yang membawa barang khas suku asli Australia itu ke desanya, Wadung Dolah, Kecamatan Genteng, Banyuwangi, pada 1996. Berawal dari perkenalannya dengan Pak Won, pemilik Mulya Art Shop di Denpasar, Dodik ditantang untuk membuat bumerang, lido-lido, jimbe, dan rain stick.
Tak tanggung-tanggung, Pak Won akan memesan 300 buah bumerang, 50 buah jimbe, 100 rain stick, dan 1.000 lido-lido. Sebab, ada seorang turis Australia bernama Daniel yang memesan barang-barang tersebut untuk dibawa ke negaranya.
Dodik yang sebelumnya bekerja sebagai perajin kayu di Bayuwangi pun tertarik untuk mencoba. Tentu saja, kalau bisa, itu akan menjadi lahan baru bagi dia. Tanpa berpikir panjang, berbekal contoh asli barang-barang pesanan itu, Dodik pulang kampung. Di desanya, ia bisa dengan mudah mendapatkan bahan baku untuk mewujudkan pesanan itu. Harganya lebih murah pula.
Tentu saja tidak dengan "simsalabim" barang-barang pesanan itu bisa berwujud. Setidaknya, Dodik membutuhkan waktu tiga bulan untuk membuat empat jenis barang kerajinan itu secara sempurna. "Saya berkali-kali gagal," kata laki-laki asal Tasikmalaya, Jawa Barat ini. Tetapi hasilnya maksimal.
Karena itu, setelah pesanan pertama diserahkan, Dodik langsung mendapat pesanan kedua, juga dari Pak Won. Setelah itu, pesanan itu datang bertubi-tubi, hingga mencapai 10 ribu buah untuk masing-masing jenis. "Barang-barang itu banyak dikirim ke Australia, Swiss, Belanda, dan Brasil."
Jelas Dodik kelabakan, meskipun ia sudah menggunakan tenaga mesin untuk mempercepat proses produksinya. Lalu ia pun memutar otak. Sebuah ide tebersit: jalan keluarnya adalah merekrut tenaga kerja, baik tetap maupun tenaga kerja lepas.
Tenaga kerja tetap berasal dari berbagai daerah seperti Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Jember, Blitar, dan Tasikmalaya. Tenaga kerja lepas adalah para tetangga di sekitar rumahnya, yang masing-masing mempunyai pekerjaan tetap sebagai buruh perkebunan dan petani.
Namun belakangan muncul masalah baru. Banyak tenaga kerjanya keluar dan mendirikan usaha sendiri di daerah masing-masing. Akibatnya sudah bisa ditebak: produksi bumerang, jimbe, rain stick, dan lido-lido pun melambung. Celakanya, pasar yang dituju sama, yaitu Bali.
Akibat persaingan pun tak bisa dielakkan: harga terus menurun secara drastis. Bayangkan, bumeran yang pada 1996 harganya Rp 100 ribu per set, kini turun menjadi Rp 17.500.
Begitu pula dengan jimbe ukuran kecil yang pada 1996 dijual dengan harga Rp 100 ribu, kini hanya laku Rp 15 ribu. Sedangkan rain stick yang awalnya laku Rp 60 ribu, sekarang cuma dihargai Rp 15 ribu.
"Para perajin berlomba agar barangnya laku tanpa mempertimbangkan harga pasaran. Yang rugi ya para perajin sendiri. Sedangkan keuntungan besar dinikmati para pemilik art shop," Dodik mengungkapkan kegelisahannya.
Tak heran bila kemudian usaha para perajin itu rontok satu persatu. "Bahan dan upah tenaga kerja terus naik, sementara harga jual tak mungkin didongkrak lagi," kata Dodik. Ia sendiri berhenti berproduksi sejak Desember tahun lalu, karena tidak ingin banting harga.
Di Bayuwangi, kini tinggal satu perajin yang masih memroduksi barang-barang itu, yakni di Kecamatan Glenmore. Entah di daerah lain, mungkin juga nasibnya sama.

1 komentar:

  1. maaf, bisa minta alamat pembuat jimbe yang masih berproduksi di banyuwang?
    jawaban anda sangat berarti bagi kami

    BalasHapus