Berhati-hatilah bila Anda membeli bumerang, senjata khas Suku
Aboringin di Australia. Kalau tidak, bersiaplah untuk kecewa. Bisa jadi
yang Anda beli adalah bumerang made in Bayuwangi. Sebab, senjata itu
kini diproduksi ramai-ramai di Bayuwangi, serta beberapa daerah lain di
pulau Jawa.
Bukan hanya bumerang, orang "osing" juga membuat
lido-lido, jimbe, dan rain stick (alat musik khas Aborigin) . Itu semua
bukan sekadar asesoris atau cindera mata, tapi juga bisa dipakai sesuai
fungsinya. Boomerang buatan Banyuwangi bisa dilempar sebagai senjata.
Lido-lido, jimbe, dan rain stick bisa mengeluarkan nada-nada yang cukup
merdu bila dibunyikan.
Boomerang yang bisa dilempar berujung agak
pipih, namun bentuknya persis: permukaan bagian atas diberi lukisan khas
Suku Aborigin dari cat tembok, lalu dipernis. Ukurannya tiga macam,
yakni 36 cm, 40 cm, dan 50 cm.
Bahan baku bumerang, lido-lido, dan
jimbe dari kayu mahoni, jati, sonokeling, dan nangka, sedangkan bahan
untuk membuat rain stick, adalah bambu. Masing-masing jenis itu dilukis
dengan cat tembok, lalu dipernis.
"Lukisannya ya lukisan khas Suku
Aborigin. Jadi sangat mirip. Sulit membedakan mana barang buatan
Indonesia dan buatan Suku Aborigin," kata Dodik Hidayat, 45 tahun,
perajin barang-barang seberang itu.
Adalah Dodik pula yang membawa
barang khas suku asli Australia itu ke desanya, Wadung Dolah, Kecamatan
Genteng, Banyuwangi, pada 1996. Berawal dari perkenalannya dengan Pak
Won, pemilik Mulya Art Shop di Denpasar, Dodik ditantang untuk membuat
bumerang, lido-lido, jimbe, dan rain stick.
Tak tanggung-tanggung,
Pak Won akan memesan 300 buah bumerang, 50 buah jimbe, 100 rain stick,
dan 1.000 lido-lido. Sebab, ada seorang turis Australia bernama Daniel
yang memesan barang-barang tersebut untuk dibawa ke negaranya.
Dodik
yang sebelumnya bekerja sebagai perajin kayu di Bayuwangi pun tertarik
untuk mencoba. Tentu saja, kalau bisa, itu akan menjadi lahan baru bagi
dia. Tanpa berpikir panjang, berbekal contoh asli barang-barang pesanan
itu, Dodik pulang kampung. Di desanya, ia bisa dengan mudah mendapatkan
bahan baku untuk mewujudkan pesanan itu. Harganya lebih murah pula.
Tentu
saja tidak dengan "simsalabim" barang-barang pesanan itu bisa berwujud.
Setidaknya, Dodik membutuhkan waktu tiga bulan untuk membuat empat
jenis barang kerajinan itu secara sempurna. "Saya berkali-kali gagal,"
kata laki-laki asal Tasikmalaya, Jawa Barat ini. Tetapi hasilnya
maksimal.
Karena itu, setelah pesanan pertama diserahkan, Dodik
langsung mendapat pesanan kedua, juga dari Pak Won. Setelah itu, pesanan
itu datang bertubi-tubi, hingga mencapai 10 ribu buah untuk
masing-masing jenis. "Barang-barang itu banyak dikirim ke Australia,
Swiss, Belanda, dan Brasil."
Jelas Dodik kelabakan, meskipun ia
sudah menggunakan tenaga mesin untuk mempercepat proses produksinya.
Lalu ia pun memutar otak. Sebuah ide tebersit: jalan keluarnya adalah
merekrut tenaga kerja, baik tetap maupun tenaga kerja lepas.
Tenaga
kerja tetap berasal dari berbagai daerah seperti Banyuwangi, Bondowoso,
Situbondo, Jember, Blitar, dan Tasikmalaya. Tenaga kerja lepas adalah
para tetangga di sekitar rumahnya, yang masing-masing mempunyai
pekerjaan tetap sebagai buruh perkebunan dan petani.
Namun
belakangan muncul masalah baru. Banyak tenaga kerjanya keluar dan
mendirikan usaha sendiri di daerah masing-masing. Akibatnya sudah bisa
ditebak: produksi bumerang, jimbe, rain stick, dan lido-lido pun
melambung. Celakanya, pasar yang dituju sama, yaitu Bali.
Akibat
persaingan pun tak bisa dielakkan: harga terus menurun secara drastis.
Bayangkan, bumeran yang pada 1996 harganya Rp 100 ribu per set, kini
turun menjadi Rp 17.500.
Begitu pula dengan jimbe ukuran kecil
yang pada 1996 dijual dengan harga Rp 100 ribu, kini hanya laku Rp 15
ribu. Sedangkan rain stick yang awalnya laku Rp 60 ribu, sekarang cuma
dihargai Rp 15 ribu.
"Para perajin berlomba agar barangnya laku
tanpa mempertimbangkan harga pasaran. Yang rugi ya para perajin sendiri.
Sedangkan keuntungan besar dinikmati para pemilik art shop," Dodik
mengungkapkan kegelisahannya.
Tak heran bila kemudian usaha para
perajin itu rontok satu persatu. "Bahan dan upah tenaga kerja terus
naik, sementara harga jual tak mungkin didongkrak lagi," kata Dodik. Ia
sendiri berhenti berproduksi sejak Desember tahun lalu, karena tidak
ingin banting harga.
Di Bayuwangi, kini tinggal satu perajin yang
masih memroduksi barang-barang itu, yakni di Kecamatan Glenmore. Entah
di daerah lain, mungkin juga nasibnya sama.
maaf, bisa minta alamat pembuat jimbe yang masih berproduksi di banyuwang?
BalasHapusjawaban anda sangat berarti bagi kami